Selasa, 01 Januari 2013

Penetrasi Asuransi Belum Mencapai Hasil

Ada perasaan “mendua” saat menyimak kinerja industri asuransi nasional. Di satu sisi, kita bangga karena industri asuransi nasional tumbuh amat meyakinkan dalam beberapa tahun terakhir. Kinerja perusahaan-perusahaan asuransi di Tanah Air —baik asuransi umum, asuransi jiwa, maupun reasuransi— cukup mengesankan. Premi meningkat signifikan. Namun, di sisi lain, jumlah pemegang polis relative tidak bertumbuh.

Tahun lalu, aset asuransi jiwa, umum, dan reasuransi mencapai Rp 229,20 triliun, naik 26% dibanding tahun sebelumnya Rp 181,80 triliun. Adapun pendapatan premi meningkat 20,2% menjadi Rp 104,27 triliun. Hasil investasi juga tumbuh 9,29% menjadi Rp 25,11 triliun, sedangkan laba bersih melonjak 22,29% menjadi Rp 8,89 triliun.

Angka-angka ini cukup mengesankan. Tapi, pada saat yang sama kita harus mengurut dada. Sebab, industri nasional masih tersandera oleh disparitas jumlah premi dengan jumlah nasabah baru. Peningkatan jumlah premi yang luar biasa besar, terutama pada asuransi jiwa, tidak sejalan dengan pertumbuhan jumlah nasabah baru. Artinya peningkatan premi masih berasal dari pemegang polis yang sama. Penetrasi asuransi jiwa baru 1,85%.

Dari tahun ke tahun, kesenjangan jumlah premi dengan jumlah nasabah semakin lebar. Pada 2005, misalnya, premi asuransi jiwa mencapai Rp 22,29 triliun, tapi pemegang polis individu hanya 5,12 juta. Tahun silam, ketika premi asuransi jiwa mencapai Rp 74,64 triliun, pemegang polis individu cuma 8,88 juta.

Perbandingan jumlah polis di Indonesia pun masih kalah jauh disbanding negara lain. Dengan populasi 237,56 juta jiwa, jumlah polis kita hanya 16,75 juta. Berarti, perbandingan polis per populasi cuma 0,07. Padahal, perbandingan polis per populasi Malaysia dan Singapura masing-masing sudah mencapai 0,44 dan 2,31.

Industri asuransi nasional juga masih terdistorsi oleh unit link. Saat ini, porsi proteksi pada unit link hanya sekitar 10%, sedangkan 90% lainnya dalam bentuk investasi. Alhasil, risiko pun lebih banyak ditanggung nasabah. Padahal, unit link saat ini mendominasi premi asuransi jiwa nasional.

Dari sisi kualitas, sebagian besar agen asuransi yang notabene menjadi ujung tombak industri ini, jelas belum memenuhi standar. Hingga akhir 2010, dari total 242.984 agen, baru 93.998 agen asuransi jiwa yang tersertifikasi (38,6%). Akibatnya, kita belum bisa sepenuhnya berharap agen-agen asuransi jiwa menjadi konsultan keuangan (financial planner) sebagaimana diinginkan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).

Masalah yang menelikung asuransi umum tak kalah krusialnya. Asuransi umum sangat miskin ide dan minim kreativitas produk. Perusahaan- perusahaan asuransi umum sejauh ini hanya fokus menggarap segmen kendaraan bermotor dan properti, sehingga mereka terus-menerus terjebak dalam perang tarif.

Sungguh praktik bisnis yang tidak sehat. Padahal, tak lama lagi, asuransi umum bakal menjalani babak baru. Pada akhir 2014, seluruh asuransi umum harus memenuhi modal minimum Rp 100 miliar.

Dari sekian banyak “duri dalam daging” industri asuransi nasional, persoalan paling besar dan mendasar adalah liberalisasi. Setelah dibolehkan memiliki saham lebih dari 80% di sector asuransi, perusahaan asing yang kaya modal dan teknologi, punya jaringan luas dan SDM berkualitas, kini mendominasi industri asuransi nasional. Gara-gara liberalisasi itulah, rivalitas asing dengan lokal menjadi amat tidak seimbang. Bahkan, sekitar 80% premi asuransi jiwa telah dikuasai perusahaan asing dan patungan.

Tentu kita berharap berbagai persoalan yang dihadapi industri asuransi nasional dapat segera diselesaikan, satu per satu, tuntas, tanpa mencederai hakikat bisnis asuransi itu sendiri. Para pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan pelaku bisnis asuransi, harus memiliki visi yang sama bahwa industri asuransi adalah aset nasional yang harus dirawat, dijaga, dan didorong agar memberikan akselerasi yang optimal bagi perekonomian di dalam negeri, mengingat kontribusi sektor asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat minim, baru sekitar 1,9%.

Apalagi pada 2015, kita sudah bertarung dalam Asean Community. Kita seyogianya menaruh keyakinan yang kuat bahwa populasi negeri ini yang terus tumbuh, pendapatan per kapita yang terus naik, dan penetrasi pasar yang masih rendah menunjukkan  besarnya potensi tumbuh perusahaan asuransi. Jika pasar ini digarap dengan baik, perusahaan asuransi Indonesia akan menjadi raksasa dunia.Tapi, kita juga mengharapkan agar perusahaan asuransi menggarap pasar masyarakat menengah bawah yang selama ini belum tersentuh.

sumber : http://www.investor.co.id/home/penetrasi-asuransi-masih-sangat-kecil/15436

Tidak ada komentar: