Ada perasaan “mendua” saat menyimak kinerja industri asuransi nasional.
Di satu sisi, kita bangga karena industri asuransi nasional tumbuh amat
meyakinkan dalam beberapa tahun terakhir. Kinerja perusahaan-perusahaan
asuransi di Tanah Air —baik asuransi umum, asuransi jiwa, maupun
reasuransi— cukup mengesankan. Premi meningkat signifikan. Namun, di
sisi lain, jumlah pemegang polis relative tidak bertumbuh.
Tahun
lalu, aset asuransi jiwa, umum, dan reasuransi mencapai Rp 229,20
triliun, naik 26% dibanding tahun sebelumnya Rp 181,80 triliun. Adapun
pendapatan premi meningkat 20,2% menjadi Rp 104,27 triliun. Hasil
investasi juga tumbuh 9,29% menjadi Rp 25,11 triliun, sedangkan laba
bersih melonjak 22,29% menjadi Rp 8,89 triliun.
Angka-angka ini
cukup mengesankan. Tapi, pada saat yang sama kita harus mengurut dada.
Sebab, industri nasional masih tersandera oleh disparitas jumlah premi
dengan jumlah nasabah baru. Peningkatan jumlah premi yang luar biasa
besar, terutama pada asuransi jiwa, tidak sejalan dengan pertumbuhan
jumlah nasabah baru. Artinya peningkatan premi masih berasal dari
pemegang polis yang sama. Penetrasi asuransi jiwa baru 1,85%.
Dari
tahun ke tahun, kesenjangan jumlah premi dengan jumlah nasabah semakin
lebar. Pada 2005, misalnya, premi asuransi jiwa mencapai Rp 22,29
triliun, tapi pemegang polis individu hanya 5,12 juta. Tahun silam,
ketika premi asuransi jiwa mencapai Rp 74,64 triliun, pemegang polis
individu cuma 8,88 juta.
Perbandingan jumlah polis di Indonesia
pun masih kalah jauh disbanding negara lain. Dengan populasi 237,56 juta
jiwa, jumlah polis kita hanya 16,75 juta. Berarti, perbandingan polis
per populasi cuma 0,07. Padahal, perbandingan polis per populasi
Malaysia dan Singapura masing-masing sudah mencapai 0,44 dan 2,31.
Industri
asuransi nasional juga masih terdistorsi oleh unit link. Saat ini,
porsi proteksi pada unit link hanya sekitar 10%, sedangkan 90% lainnya
dalam bentuk investasi. Alhasil, risiko pun lebih banyak ditanggung
nasabah. Padahal, unit link saat ini mendominasi premi asuransi jiwa
nasional.
Dari sisi kualitas, sebagian besar agen asuransi yang
notabene menjadi ujung tombak industri ini, jelas belum memenuhi
standar. Hingga akhir 2010, dari total 242.984 agen, baru 93.998 agen
asuransi jiwa yang tersertifikasi (38,6%). Akibatnya, kita belum bisa
sepenuhnya berharap agen-agen asuransi jiwa menjadi konsultan keuangan
(financial planner) sebagaimana diinginkan Asosiasi Asuransi Jiwa
Indonesia (AAJI).
Masalah yang menelikung asuransi umum tak kalah
krusialnya. Asuransi umum sangat miskin ide dan minim kreativitas
produk. Perusahaan- perusahaan asuransi umum sejauh ini hanya fokus
menggarap segmen kendaraan bermotor dan properti, sehingga mereka
terus-menerus terjebak dalam perang tarif.
Sungguh praktik
bisnis yang tidak sehat. Padahal, tak lama lagi, asuransi umum bakal
menjalani babak baru. Pada akhir 2014, seluruh asuransi umum harus
memenuhi modal minimum Rp 100 miliar.
Dari sekian banyak “duri
dalam daging” industri asuransi nasional, persoalan paling besar dan
mendasar adalah liberalisasi. Setelah dibolehkan memiliki saham lebih
dari 80% di sector asuransi, perusahaan asing yang kaya modal dan
teknologi, punya jaringan luas dan SDM berkualitas, kini mendominasi
industri asuransi nasional. Gara-gara liberalisasi itulah, rivalitas
asing dengan lokal menjadi amat tidak seimbang. Bahkan, sekitar 80%
premi asuransi jiwa telah dikuasai perusahaan asing dan patungan.
Tentu
kita berharap berbagai persoalan yang dihadapi industri asuransi
nasional dapat segera diselesaikan, satu per satu, tuntas, tanpa
mencederai hakikat bisnis asuransi itu sendiri. Para pemangku
kepentingan, terutama pemerintah dan pelaku bisnis asuransi, harus
memiliki visi yang sama bahwa industri asuransi adalah aset nasional
yang harus dirawat, dijaga, dan didorong agar memberikan akselerasi yang
optimal bagi perekonomian di dalam negeri, mengingat kontribusi sektor
asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat minim, baru
sekitar 1,9%.
Apalagi pada 2015, kita sudah bertarung dalam Asean
Community. Kita seyogianya menaruh keyakinan yang kuat bahwa populasi
negeri ini yang terus tumbuh, pendapatan per kapita yang terus naik, dan
penetrasi pasar yang masih rendah menunjukkan besarnya potensi tumbuh
perusahaan asuransi. Jika pasar ini digarap dengan baik, perusahaan
asuransi Indonesia akan menjadi raksasa dunia.Tapi, kita juga
mengharapkan agar perusahaan asuransi menggarap pasar masyarakat
menengah bawah yang selama ini belum tersentuh.
sumber : http://www.investor.co.id/home/penetrasi-asuransi-masih-sangat-kecil/15436