Asuransi menjadi salah satu pilar industri keuangan nasional yang kian 
penting. Dari sisi kinerja, asuransi nasional tumbuh mengesankan, baik 
asuransi jiwa, umum, reasuransi, maupun asuransi sosial. Pertumbuhan 
aset, permodalan, dan pendapatan premi asuransi tahun 2011 mencapai tiga
 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Kendati performanya kian meyakinkan, industri asuransi nasional menghadapi sejumlah tantangan. 
Pertama,
 penetrasi asuransi masih terbatas. Rasio premi asuransi individu 
terhadap produk domestik bruto (PDB) baru sekitar 1,8%, relative tidak 
ada kemajuan. Jumlah polis per penduduk masih sekitar 0,04 atau satu 
polis untuk empat orang, jauh tertinggal dari negara lain di Asean 
seperti Malaysia yang mencapai 0,43 atau satu polis dua orang dan 
Singapura 2,34, dua polis satu orang. 
Kedua, industri asuransi 
nasional menghadapi liberalisasi di Asean terkait Asean Insurance 
Community 2015. Itu berarti, tiga tahun lagi agen-agen asuransi 
negara-negara di Asean bebas menawarkan produk, sehingga merupakan 
ancaman bagi agen dan sumber daya manusia (SDM) asuransi nasional.
Ketiga,
 industri asuransi dihadapkan pada cekaknya permodalan. Masih banyak 
asuransi yang bermodal di bawah Rp 100 miliar, padahal itu merupakan 
batas modal minimum yang harus dipenuhi pada 2014. 
Keempat, 
pengalihan pengawasan asuransi dari Bapepam-LK ke Otoritas Jasa Keuangan
 (OJK) merupakan tantangan tersendiri. Otoritas baru ini harus lebih 
baik dalam menegakkan peraturan dan mengembangkan industri.
Kelima,
 kinerja finansial asuransi yang cukup solid tidak berjalan parallel 
dengan kinerja harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham emiten 
asuransi umumnya cenderung stagnan dan bukan favorit investor. Tantangan
 keenam adalah ketidakpastian krisis Eropa yang belum jelas ujungnya, 
sehingga dapat berimbas ke industri asuransi nasional.
Dengan 
sederet kendala tersebut, seluruh pelaku industri asuransi harus membuat
 berbagai terobosan dan strategi. Terkait dengan rendahnya penetrasi 
asuransi, sudah saatnya perusahaan asuransi, asosiasi, dan pemerintah 
merumuskan visi bersama guna menciptakan gerakan besar-besaran 
masyarakat berasuransi.
Pelaku industri asuransi nasional juga perlu mendukung program financial inclusion,
 karena rendahnya akses masyarakat ke produk asuransi. Seperti 
diketahui, sekitar 49% penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap 
layanan finansial, termasuk asuransi.
Keterbatasan akses juga 
terjadi pada asuransi sosial. Sebagai gambaran, saat ini baru 39% 
penduduk yang tercakup dalam berbagai skema jaminan kesehatan, hanya 4% 
pekerja formal yang mendapat jaminan kesehatan Jamsostek, dan hanya 1% 
pekerja informal yang mendapat layanan jaminan sosial.
Potensi 
pasar asuransi di Indonesia sangat besar. Hal itu terlihat dari 
pertumbuhan PDB yang tinggi, jumlah penduduk besar dan mayoritas berusia
 muda, dan pesatnya pertumbuhan kelas menengah. Jangan sampai pasar yang
 menggiurkan ini menjadi lahan pesta pora bagi asing, terutama ketika 
terjadi liberalisasi sector keuangan Asean pada 2015. Saat ini saja, 80%
 pasar asuransi sudah dikuasai oleh lima perusahaan patungan (joint venture). 
Bertujuan agar industri asuransi lebih berkembang, pemerintah perlu memberikan 
insentif pajak bagi produk-produk asuransi karena merupakan dana panjang
 yang bermanfaat untuk pembiayaan infrastruktur. Misalnya, dana 
masyarakat, karyawan, atau perusahaan yang dibelanjakan untuk asuransi 
jangka panjang dimasukkan sebagai pendapatan tidak kena pajak.
Selain
 itu, dana asuransi yang diinvestasikan di deposito perlu diturunkan 
tarif pajaknya, jangan 20%. Sementara itu, pengalihan pengawasan dan 
pengaturan asuransi dari Bapepam-LK ke OJK diharapkan justru memberikan 
ruang bagi industri asuransi untuk lebih pesat berkembang.
Dalam 
konteks ini, perlu sebuah harmonisasi peraturan di antara sesama 
otoritas keuangan karena produk-produknya saling terkait. Aspek lain 
yang tak kalah penting adalah kualitas SDM dan layanan. Sebagian citra 
agen asuransi selama ini masih kurang bagus, karena hanya bermuka manis 
ketika merayu nasabah namun mempersulit saat terjadi klaim. Untuk itu, 
sertifikasi dan lisensi merupakan hal yang tidak bisa ditawar bagi 
setiap agen asuransi.
Selama para pemangku kepentingan 
berkomitmen untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, bukan hal sulit
 untuk mendongkrak penetrasi asuransi. Seiring dengan itu, industri 
asuransi nasional pun diyakini mampu berkompetisi ketika liberalisasi 
tiba.
sumber : http://www.investor.co.id/home/mendongkrak-penetrasi-asuransi/39836 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar