- All Operation Moduls are Fully Integrated to GL ( Semua Model Operasi yang berintegrasi ke buku besar )
- Customizable Rules of AutoGenerated Integration GL Journal ( Penyesuaian Aturan otomatis terintegrasi ke jurnal buku besar )
- Multi Company Structure (Multi Divisions/Branches/Profit Centers) ( Dapat Digunakan Banyak Perusahaan )
- Multi Cost Structure ( Multi Struktur Biaya )
- Multi Depo and warehouse management ( Multi Depo dan manajemen gudang )
- Multi Currency with Auto foreign exchange adjustment ( Multi mata uang dengan penyesuaian Auto devisa )
- Multi Language ERP ( Multi Bahasa ERP )
- Consolidate Reporting ( konsolidasi Pelaporan )
- Advanced Report and Analitical Tools ( Lanjutan Laporan dan Peralatan Analitik )
- Customizable Report and Feature Settings ( Penyesuaian Laporan dan Pengaturan Fitur )
- Compatible to ELSA Online via internet (Highly Secure Business Connection) ( Mendukung kepada ELSA Online via Internet )
- Customizeable User Security Level and Access ( Pengguna Customizable Tingkat Keamanan dan Akses )
- Advanced User Report Generator ( Pengguna Lanjutan Laporan Generator )
- User Friendly Interface ( Tatap muka yang baik )
- Out of the box solution ( Solusi terbaik )
- Continuous evolving in New Solution (sistem yang akan berkembang secara terus menerus)
- Advanced “Direct & Indirect Cost Distribution” Feature (Project Cost Center/Structure Analyst)
- Easy and Fast Implementation to Go Live ( Mudah dan cepat di implementasikan kepada kehidupan )
Kamis, 17 Januari 2013
Software ERP Indonesia
Pada artikel kali ini dalam blog jurnal akan membahas tentang Software ERP Indonesia. Sebelumnya, penegertian dari ERP itu sendiri ialah merupakan dari kalimat perencanaan sumber daya perusahaan. Biasa di singkat sebagai ERP dalam bahasa inggrisnya yang berkepanjangan enterprise resource planning, yang merupakan sistem informasi untuk perusahaan-perusahaan manufaktur berperan sebagai integrasi dan otomasi bisnis.
Menurut sejarah ERP awal mulai dikembangkan oleh MRP dan menjadi MRP II yang memiliki perbedaan kepanjangan pada huruf "M dan R" nya. MRP yaitu Manufacturing Resource Planning dan MRP II adalah Material Requirement Planning. Software ERP secara singkat memiliki fungsi peran sebagai pengatur jalannya sebuah bisnis dilihat dari segala bentuk segi bidang.
Setelah mengetahui menengenai pengertia Software ERP, disini ada salah satu Software ERP Indonesia yang memiliki kualitas terbaik. Mengapa demikian, karena software tersebut di development oleh PT. Global Bussines Solution Indonesia yang telah berpengalaman dari tahun 1998 hingga sekarang. Software tersebut bernama Altius atau Altius ERP merupakan software ERP yang berkualitas handal yang di tujukan kepada perusahaan retail, distribusi maupun manufacturing. Altius mengutamakan kualitas dan kuantitasnya, dengan kemudahan kecepatan dalam penggunaanya sehingga memberikan hasil yang sesuai dengan nilai Investasi dengan cepat. Meskipun software ERP memiliki banyak variasi yang di kembangkan oleh perusahaan-perusahaan lain. Namun masih belum pasti akan ketentuannya sesuai dengan kebutuhan dari setiap perusahaan di Indonesia. Maka dari itu Altius sebagai produk dalam negeri telah memberi solusi pintas sebagai software ERP berkualitas sesuai dengan kebutuhan Indonesia.
Inilah beberapa fitur-fitur kelebihan dari software ERP Alius Indonesia :
Minggu, 13 Januari 2013
Asuransi Pendidikan untuk Anak
Anda dan pasangan dapat menyiapkan biaya pendidikan anak melalui
berbagai pilihan produk keuangan, salah satunya asuransi pendidikan.
Asuransi pendidikan dapat menyediakan biaya pendidikan mulai SD, SMP,
SMU, hingga Universitas.
Untuk mendapatkan tanggungan biaya, Anda harus membayar premi yang besarnya bisa ditentukan sesuai keinginan Anda. Semakin besar uang pertanggungan yang ingin didapat, semakin besar biaya premi yang harus dibayarkan. Jenis asuransi ini bisa cair (cash) per termin, misalnya, ketika anak harus masuk SD, SMP, SMA dan Universitas.
Sebagai ilustrasi: uang pertanggungan (UP) Rp 100 juta dan premi yang harus dibayar per tahun sekitar Rp 8 juta. Salah satu penyedia jasa asuransi akan mengeluarkan biaya asuransi pedidikan setiap kali anak masuk sekolah, dengan ketentuan sebagai berikut: SD 10 persen dari UP atau Rp 10 juta; SMP 15 persen dari UP atau Rp 15 juta; SMA 25 persen dari UP atau Rp 25 juta; Universitas 50 persen dari UP atau Rp 50 juta.
Setelah kontrak selesai biasanya ketika anak berusia 21, akan keluar dana cash 100 persen dr UP atau Rp 100 juta. Total biaya yang bisa didapat adalah 250 persen dari UP.
Kelebihan dari asuransi pendidikan di antaranya:
* Premi hanya dibayar selama 10 tahun. Setelah itu bebas premi namun anak masih mendapat biaya pendidikan sampai selesai.
* Bisa mendapatkan biaya pendidikan per tahapan sekolah.
* Ketika orangtua meninggal padahal baru membayar premi selama tiga tahun, maka selanjutnya bebas bayar premi sementara pertanggungan akan jalan terus.
Sedangkan kelemahannya, UP yang didapat seringkali tidak bisa menutupi biaya pendidikan yang cenderung semakin mahal. Supaya bisa menutupi, peserta harus meningkatkan biaya premi yang harus dibayarkan per tahun atau per bulan.
sumber : http://female.kompas.com/read/2012/11/09/1037514/Plus-Minus.Asuransi.Pendidikan.untuk.Anak
Untuk mendapatkan tanggungan biaya, Anda harus membayar premi yang besarnya bisa ditentukan sesuai keinginan Anda. Semakin besar uang pertanggungan yang ingin didapat, semakin besar biaya premi yang harus dibayarkan. Jenis asuransi ini bisa cair (cash) per termin, misalnya, ketika anak harus masuk SD, SMP, SMA dan Universitas.
Sebagai ilustrasi: uang pertanggungan (UP) Rp 100 juta dan premi yang harus dibayar per tahun sekitar Rp 8 juta. Salah satu penyedia jasa asuransi akan mengeluarkan biaya asuransi pedidikan setiap kali anak masuk sekolah, dengan ketentuan sebagai berikut: SD 10 persen dari UP atau Rp 10 juta; SMP 15 persen dari UP atau Rp 15 juta; SMA 25 persen dari UP atau Rp 25 juta; Universitas 50 persen dari UP atau Rp 50 juta.
Setelah kontrak selesai biasanya ketika anak berusia 21, akan keluar dana cash 100 persen dr UP atau Rp 100 juta. Total biaya yang bisa didapat adalah 250 persen dari UP.
Kelebihan dari asuransi pendidikan di antaranya:
* Premi hanya dibayar selama 10 tahun. Setelah itu bebas premi namun anak masih mendapat biaya pendidikan sampai selesai.
* Bisa mendapatkan biaya pendidikan per tahapan sekolah.
* Ketika orangtua meninggal padahal baru membayar premi selama tiga tahun, maka selanjutnya bebas bayar premi sementara pertanggungan akan jalan terus.
Sedangkan kelemahannya, UP yang didapat seringkali tidak bisa menutupi biaya pendidikan yang cenderung semakin mahal. Supaya bisa menutupi, peserta harus meningkatkan biaya premi yang harus dibayarkan per tahun atau per bulan.
sumber : http://female.kompas.com/read/2012/11/09/1037514/Plus-Minus.Asuransi.Pendidikan.untuk.Anak
Kamis, 10 Januari 2013
Perkembangan Asuransi Syariah Indonesia
Sebagai satu kesatuan industri keuangan syariah, perkembangan
industri asuransi syariah dinilai perlu didukung dengan perkembangan
aset perbankan syariah yang lebih besar. Paulus Yoga
Jakarta–Pertumbuhan industri asuransi syariah tidak bisa dimungkiri turut terpengaruh dengan pertumbuhan perbankan syariah, yang dengan pembiayaannya bisa mendorong bisnis syariah semakin bergeliat sehingga lebih banyak produk yang bisa diberikan asuransi.
“Karena aset bank syariah yang belum besar, jadi belum bisa maksimal pemberian pembiayaannya. Jadi potensi asuransi syariah juga tidak maksimal. Jadi kalau pembiayaannya tidak ada, dari sisi produk kan apa yang mau diasuransikan,” tutur Presiden Direktur PT Asuransi Adira Dinamika Indra Baruna, kepada wartawan di Jakarta, Senin, 19 November 2012.
Khusus untuk industri syariah sendiri, saat ini ada empat perusahaan asuransi jiwa syariah, dan dua perusahaan asuransi kerugian syariah. Sementara untuk unit usaha, tercatat ada 17 unit usaha syariah yang bergerak di asuransi jiwa dan 20 unit usaha syariah yang bergerak di asuransi kerugian. Sedangkan unit usaha syariah yang bergerak di bidang reasuransi baru berjumlah tiga unit.
Dari data internal yang disampaikan Asuransi Adira, dari sisi premi, untuk asuransi jiwa syariah memiliki pangsa pasar 8,30% atau sebesar Rp2,36 triliun dari total premi asuransi jiwa sebesar Rp28,41 triliun per triwulan dua 2012.
Sedangkan untuk asuransi kerugian dan reasuransi syariah memiliki pangsa pasar 5,19% atau sebesar Rp586 miliar dari total asuransi kerugian dan reasuransi syariah sebesar Rp11,3 triliun. Sehingga secara keseluruhan asuransi dan reasuransi sebesar Rp39,71 triliun, pangsa pasar syariah tercatat 7,42% atau sebesar Rp2,94 triliun.
sumber : http://www.infobanknews.com/2012/11/pertumbuhan-asuransi-syariah-perlu-dukungan-perbankan-syariah/
Jakarta–Pertumbuhan industri asuransi syariah tidak bisa dimungkiri turut terpengaruh dengan pertumbuhan perbankan syariah, yang dengan pembiayaannya bisa mendorong bisnis syariah semakin bergeliat sehingga lebih banyak produk yang bisa diberikan asuransi.
“Karena aset bank syariah yang belum besar, jadi belum bisa maksimal pemberian pembiayaannya. Jadi potensi asuransi syariah juga tidak maksimal. Jadi kalau pembiayaannya tidak ada, dari sisi produk kan apa yang mau diasuransikan,” tutur Presiden Direktur PT Asuransi Adira Dinamika Indra Baruna, kepada wartawan di Jakarta, Senin, 19 November 2012.
Khusus untuk industri syariah sendiri, saat ini ada empat perusahaan asuransi jiwa syariah, dan dua perusahaan asuransi kerugian syariah. Sementara untuk unit usaha, tercatat ada 17 unit usaha syariah yang bergerak di asuransi jiwa dan 20 unit usaha syariah yang bergerak di asuransi kerugian. Sedangkan unit usaha syariah yang bergerak di bidang reasuransi baru berjumlah tiga unit.
Dari data internal yang disampaikan Asuransi Adira, dari sisi premi, untuk asuransi jiwa syariah memiliki pangsa pasar 8,30% atau sebesar Rp2,36 triliun dari total premi asuransi jiwa sebesar Rp28,41 triliun per triwulan dua 2012.
Sedangkan untuk asuransi kerugian dan reasuransi syariah memiliki pangsa pasar 5,19% atau sebesar Rp586 miliar dari total asuransi kerugian dan reasuransi syariah sebesar Rp11,3 triliun. Sehingga secara keseluruhan asuransi dan reasuransi sebesar Rp39,71 triliun, pangsa pasar syariah tercatat 7,42% atau sebesar Rp2,94 triliun.
sumber : http://www.infobanknews.com/2012/11/pertumbuhan-asuransi-syariah-perlu-dukungan-perbankan-syariah/
Selasa, 08 Januari 2013
Premi Asuransi Kesehatan Murah
‘Premi asuransi kesehatan” tempat kamu koq murah ya?
atau terkadang ada juga yang bilang “premi asuransi kesehatan” tempat
si “anu” koq mahal ya? sebenarnya anda sebagai nasabah harus lebih jeli
dalam memilih asuransi kesehatan, artinya yang anda pilih bukan semata
dari sisi murah atau tidaknya “premi asuransi kesehatan” yang di
tawarkan tetapi lebih kepada manfaat yang diberikan apakah sesuai dengan
kondisi keuangan anda dan gaya hidup anda, sehingga jika suatu
hari ketika “musibah” menghampiri, asuransi kesehatan yang anda miliki
mampu memberikan perlindungan yang maksimal bagi anda.
Asuransi pada prinsipnya bekerja seperti payung, yang diabaikan ketika musim kemarau dan akan sangat bermanfaat ketika musim hujan tiba, tetapi apakah dengan memiliki payung saja anda sudah merasa aman ? lantas pertanyaan nya seberapa besarkah payung yang anda miliki ? atau seberapa kuatkah payung tersebut ? tentu anda tidak akan mengetahuinya sebelum payung tersebut di gunakan, tetapi anda tentu memiliki hak memilih yang terbaik untuk anda ketika membelinya sehingga tidak menyesal dikemudian hari.
Lantas apakah premi asuransi kesehatan yang mahal sudah pasti bagus? bisa iya, bisa tidak. seperti dijelaskan di atas membeli asuransi harus disesuaikan dengan kondisi keuangan anda, yang berarti tentu premi yang anda bayarkan harus sesuai dengan budget yang sudah anda anggarkan untuk biaya kesehatan sehingga tidak mengganggu maupun membebani keperluan hidup anda yang lainnya yang juga penting.
Premi asuransi kesehatan yang dibayarkan harus sesuai dengan gaya hidup anda, misalnya jika anda selama ini lebih nyaman dengan kelas VIP sebuah rumah sakit, anda disarankan agar mengambil dan membayar ” premi asuransi kesehatan ” yang memberikan layanan kelas VIP agar semua biaya perawatan rumah sakit termasuk obat obatan dan pembedahan dapat di tanggung oleh asuransi kesehatan anda sesuai dengan tagihan.
Tips bagi anda yang memiliki buget yang terbatas namun tetap menginginkan manfaat yang maksimal mungkin anda dapat mengkombinasikan asuransi kesehatan cashless anda dengan asuransi kesehatan cashplan, sehingga “premi asuransi kesehatan” yang anda bayarkan akan lebih minim dengan manfaat yang cukup besar.
Sumber : http://www.asuransijiwaku.com/premi-asuransi-kesehatan-yang-palingmurah.html
Asuransi pada prinsipnya bekerja seperti payung, yang diabaikan ketika musim kemarau dan akan sangat bermanfaat ketika musim hujan tiba, tetapi apakah dengan memiliki payung saja anda sudah merasa aman ? lantas pertanyaan nya seberapa besarkah payung yang anda miliki ? atau seberapa kuatkah payung tersebut ? tentu anda tidak akan mengetahuinya sebelum payung tersebut di gunakan, tetapi anda tentu memiliki hak memilih yang terbaik untuk anda ketika membelinya sehingga tidak menyesal dikemudian hari.
Lantas apakah premi asuransi kesehatan yang mahal sudah pasti bagus? bisa iya, bisa tidak. seperti dijelaskan di atas membeli asuransi harus disesuaikan dengan kondisi keuangan anda, yang berarti tentu premi yang anda bayarkan harus sesuai dengan budget yang sudah anda anggarkan untuk biaya kesehatan sehingga tidak mengganggu maupun membebani keperluan hidup anda yang lainnya yang juga penting.
Premi asuransi kesehatan yang dibayarkan harus sesuai dengan gaya hidup anda, misalnya jika anda selama ini lebih nyaman dengan kelas VIP sebuah rumah sakit, anda disarankan agar mengambil dan membayar ” premi asuransi kesehatan ” yang memberikan layanan kelas VIP agar semua biaya perawatan rumah sakit termasuk obat obatan dan pembedahan dapat di tanggung oleh asuransi kesehatan anda sesuai dengan tagihan.
Tips bagi anda yang memiliki buget yang terbatas namun tetap menginginkan manfaat yang maksimal mungkin anda dapat mengkombinasikan asuransi kesehatan cashless anda dengan asuransi kesehatan cashplan, sehingga “premi asuransi kesehatan” yang anda bayarkan akan lebih minim dengan manfaat yang cukup besar.
Sumber : http://www.asuransijiwaku.com/premi-asuransi-kesehatan-yang-palingmurah.html
Sabtu, 05 Januari 2013
Jangkauan Asuransi tak sampai Masyarakat Bawah
Industri asuransi jiwa di Indonesia belum menjangkau masyarakat bawah.
Pemasaran produk-produk asuransi yang ada masih terbatas di kota besar.
Di lain sisi, kelas menengah-atas yang selama ini disasar industri
asuransi juga baru tergarap 18%, sehingga potensinya masih sangat besar.
Dari 50 juta kelas menengah atas di Indonesia, pemegang polis individu baru 8,88 juta, sehingga masih ada 40 juta lebih yang belum memiliki polis. Densitas asuransi atau rasio premi per kapita baru mencapai Rp 472 ribu. Demikian pula rasio jumlah polis terhadap populasi di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Negara tetangga di Asean.
Demikian terungkap dalam diskusi panel “Prospek dan Tantangan Industri Asuransi 2011” yang digelar dalam acara penganugerahan penghargaan Perusahaan Asuransi Terbaik 2011 versi majalah Investor di Jakarta, Rabu (6/7).
Tampil sebagai pembicara kunci adalah Ketua Bapepam-LK Nurhaida. Sedangkan bertindak sebagai panelis adalah Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Hendrisman Rahim, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Kornelius Simanjuntak, dan pengamat asuransi Munir Sjamsoeddin, dengan moderator Direktur Berita Satu Media Holdings Primus Dorimulu.
sumber : http://www.investor.co.id/home/asuransi-belum-jangkau-masyarakat-bawah/15427
Dari 50 juta kelas menengah atas di Indonesia, pemegang polis individu baru 8,88 juta, sehingga masih ada 40 juta lebih yang belum memiliki polis. Densitas asuransi atau rasio premi per kapita baru mencapai Rp 472 ribu. Demikian pula rasio jumlah polis terhadap populasi di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Negara tetangga di Asean.
Demikian terungkap dalam diskusi panel “Prospek dan Tantangan Industri Asuransi 2011” yang digelar dalam acara penganugerahan penghargaan Perusahaan Asuransi Terbaik 2011 versi majalah Investor di Jakarta, Rabu (6/7).
Tampil sebagai pembicara kunci adalah Ketua Bapepam-LK Nurhaida. Sedangkan bertindak sebagai panelis adalah Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Hendrisman Rahim, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Kornelius Simanjuntak, dan pengamat asuransi Munir Sjamsoeddin, dengan moderator Direktur Berita Satu Media Holdings Primus Dorimulu.
sumber : http://www.investor.co.id/home/asuransi-belum-jangkau-masyarakat-bawah/15427
Rabu, 02 Januari 2013
Meningkatkan Penetrasi Asuransi
Asuransi menjadi salah satu pilar industri keuangan nasional yang kian
penting. Dari sisi kinerja, asuransi nasional tumbuh mengesankan, baik
asuransi jiwa, umum, reasuransi, maupun asuransi sosial. Pertumbuhan
aset, permodalan, dan pendapatan premi asuransi tahun 2011 mencapai tiga
kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Kendati performanya kian meyakinkan, industri asuransi nasional menghadapi sejumlah tantangan.
Pertama, penetrasi asuransi masih terbatas. Rasio premi asuransi individu terhadap produk domestik bruto (PDB) baru sekitar 1,8%, relative tidak ada kemajuan. Jumlah polis per penduduk masih sekitar 0,04 atau satu polis untuk empat orang, jauh tertinggal dari negara lain di Asean seperti Malaysia yang mencapai 0,43 atau satu polis dua orang dan Singapura 2,34, dua polis satu orang.
Kedua, industri asuransi nasional menghadapi liberalisasi di Asean terkait Asean Insurance Community 2015. Itu berarti, tiga tahun lagi agen-agen asuransi negara-negara di Asean bebas menawarkan produk, sehingga merupakan ancaman bagi agen dan sumber daya manusia (SDM) asuransi nasional.
Ketiga, industri asuransi dihadapkan pada cekaknya permodalan. Masih banyak asuransi yang bermodal di bawah Rp 100 miliar, padahal itu merupakan batas modal minimum yang harus dipenuhi pada 2014.
Keempat, pengalihan pengawasan asuransi dari Bapepam-LK ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan tantangan tersendiri. Otoritas baru ini harus lebih baik dalam menegakkan peraturan dan mengembangkan industri.
Kelima, kinerja finansial asuransi yang cukup solid tidak berjalan parallel dengan kinerja harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham emiten asuransi umumnya cenderung stagnan dan bukan favorit investor. Tantangan keenam adalah ketidakpastian krisis Eropa yang belum jelas ujungnya, sehingga dapat berimbas ke industri asuransi nasional.
Dengan sederet kendala tersebut, seluruh pelaku industri asuransi harus membuat berbagai terobosan dan strategi. Terkait dengan rendahnya penetrasi asuransi, sudah saatnya perusahaan asuransi, asosiasi, dan pemerintah merumuskan visi bersama guna menciptakan gerakan besar-besaran masyarakat berasuransi.
Pelaku industri asuransi nasional juga perlu mendukung program financial inclusion, karena rendahnya akses masyarakat ke produk asuransi. Seperti diketahui, sekitar 49% penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap layanan finansial, termasuk asuransi.
Keterbatasan akses juga terjadi pada asuransi sosial. Sebagai gambaran, saat ini baru 39% penduduk yang tercakup dalam berbagai skema jaminan kesehatan, hanya 4% pekerja formal yang mendapat jaminan kesehatan Jamsostek, dan hanya 1% pekerja informal yang mendapat layanan jaminan sosial.
Potensi pasar asuransi di Indonesia sangat besar. Hal itu terlihat dari pertumbuhan PDB yang tinggi, jumlah penduduk besar dan mayoritas berusia muda, dan pesatnya pertumbuhan kelas menengah. Jangan sampai pasar yang menggiurkan ini menjadi lahan pesta pora bagi asing, terutama ketika terjadi liberalisasi sector keuangan Asean pada 2015. Saat ini saja, 80% pasar asuransi sudah dikuasai oleh lima perusahaan patungan (joint venture).
Bertujuan agar industri asuransi lebih berkembang, pemerintah perlu memberikan insentif pajak bagi produk-produk asuransi karena merupakan dana panjang yang bermanfaat untuk pembiayaan infrastruktur. Misalnya, dana masyarakat, karyawan, atau perusahaan yang dibelanjakan untuk asuransi jangka panjang dimasukkan sebagai pendapatan tidak kena pajak.
Selain itu, dana asuransi yang diinvestasikan di deposito perlu diturunkan tarif pajaknya, jangan 20%. Sementara itu, pengalihan pengawasan dan pengaturan asuransi dari Bapepam-LK ke OJK diharapkan justru memberikan ruang bagi industri asuransi untuk lebih pesat berkembang.
Dalam konteks ini, perlu sebuah harmonisasi peraturan di antara sesama otoritas keuangan karena produk-produknya saling terkait. Aspek lain yang tak kalah penting adalah kualitas SDM dan layanan. Sebagian citra agen asuransi selama ini masih kurang bagus, karena hanya bermuka manis ketika merayu nasabah namun mempersulit saat terjadi klaim. Untuk itu, sertifikasi dan lisensi merupakan hal yang tidak bisa ditawar bagi setiap agen asuransi.
Selama para pemangku kepentingan berkomitmen untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, bukan hal sulit untuk mendongkrak penetrasi asuransi. Seiring dengan itu, industri asuransi nasional pun diyakini mampu berkompetisi ketika liberalisasi tiba.
sumber : http://www.investor.co.id/home/mendongkrak-penetrasi-asuransi/39836
Kendati performanya kian meyakinkan, industri asuransi nasional menghadapi sejumlah tantangan.
Pertama, penetrasi asuransi masih terbatas. Rasio premi asuransi individu terhadap produk domestik bruto (PDB) baru sekitar 1,8%, relative tidak ada kemajuan. Jumlah polis per penduduk masih sekitar 0,04 atau satu polis untuk empat orang, jauh tertinggal dari negara lain di Asean seperti Malaysia yang mencapai 0,43 atau satu polis dua orang dan Singapura 2,34, dua polis satu orang.
Kedua, industri asuransi nasional menghadapi liberalisasi di Asean terkait Asean Insurance Community 2015. Itu berarti, tiga tahun lagi agen-agen asuransi negara-negara di Asean bebas menawarkan produk, sehingga merupakan ancaman bagi agen dan sumber daya manusia (SDM) asuransi nasional.
Ketiga, industri asuransi dihadapkan pada cekaknya permodalan. Masih banyak asuransi yang bermodal di bawah Rp 100 miliar, padahal itu merupakan batas modal minimum yang harus dipenuhi pada 2014.
Keempat, pengalihan pengawasan asuransi dari Bapepam-LK ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan tantangan tersendiri. Otoritas baru ini harus lebih baik dalam menegakkan peraturan dan mengembangkan industri.
Kelima, kinerja finansial asuransi yang cukup solid tidak berjalan parallel dengan kinerja harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham emiten asuransi umumnya cenderung stagnan dan bukan favorit investor. Tantangan keenam adalah ketidakpastian krisis Eropa yang belum jelas ujungnya, sehingga dapat berimbas ke industri asuransi nasional.
Dengan sederet kendala tersebut, seluruh pelaku industri asuransi harus membuat berbagai terobosan dan strategi. Terkait dengan rendahnya penetrasi asuransi, sudah saatnya perusahaan asuransi, asosiasi, dan pemerintah merumuskan visi bersama guna menciptakan gerakan besar-besaran masyarakat berasuransi.
Pelaku industri asuransi nasional juga perlu mendukung program financial inclusion, karena rendahnya akses masyarakat ke produk asuransi. Seperti diketahui, sekitar 49% penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap layanan finansial, termasuk asuransi.
Keterbatasan akses juga terjadi pada asuransi sosial. Sebagai gambaran, saat ini baru 39% penduduk yang tercakup dalam berbagai skema jaminan kesehatan, hanya 4% pekerja formal yang mendapat jaminan kesehatan Jamsostek, dan hanya 1% pekerja informal yang mendapat layanan jaminan sosial.
Potensi pasar asuransi di Indonesia sangat besar. Hal itu terlihat dari pertumbuhan PDB yang tinggi, jumlah penduduk besar dan mayoritas berusia muda, dan pesatnya pertumbuhan kelas menengah. Jangan sampai pasar yang menggiurkan ini menjadi lahan pesta pora bagi asing, terutama ketika terjadi liberalisasi sector keuangan Asean pada 2015. Saat ini saja, 80% pasar asuransi sudah dikuasai oleh lima perusahaan patungan (joint venture).
Bertujuan agar industri asuransi lebih berkembang, pemerintah perlu memberikan insentif pajak bagi produk-produk asuransi karena merupakan dana panjang yang bermanfaat untuk pembiayaan infrastruktur. Misalnya, dana masyarakat, karyawan, atau perusahaan yang dibelanjakan untuk asuransi jangka panjang dimasukkan sebagai pendapatan tidak kena pajak.
Selain itu, dana asuransi yang diinvestasikan di deposito perlu diturunkan tarif pajaknya, jangan 20%. Sementara itu, pengalihan pengawasan dan pengaturan asuransi dari Bapepam-LK ke OJK diharapkan justru memberikan ruang bagi industri asuransi untuk lebih pesat berkembang.
Dalam konteks ini, perlu sebuah harmonisasi peraturan di antara sesama otoritas keuangan karena produk-produknya saling terkait. Aspek lain yang tak kalah penting adalah kualitas SDM dan layanan. Sebagian citra agen asuransi selama ini masih kurang bagus, karena hanya bermuka manis ketika merayu nasabah namun mempersulit saat terjadi klaim. Untuk itu, sertifikasi dan lisensi merupakan hal yang tidak bisa ditawar bagi setiap agen asuransi.
Selama para pemangku kepentingan berkomitmen untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, bukan hal sulit untuk mendongkrak penetrasi asuransi. Seiring dengan itu, industri asuransi nasional pun diyakini mampu berkompetisi ketika liberalisasi tiba.
sumber : http://www.investor.co.id/home/mendongkrak-penetrasi-asuransi/39836
Selasa, 01 Januari 2013
Penetrasi Asuransi Belum Mencapai Hasil
Ada perasaan “mendua” saat menyimak kinerja industri asuransi nasional.
Di satu sisi, kita bangga karena industri asuransi nasional tumbuh amat
meyakinkan dalam beberapa tahun terakhir. Kinerja perusahaan-perusahaan
asuransi di Tanah Air —baik asuransi umum, asuransi jiwa, maupun
reasuransi— cukup mengesankan. Premi meningkat signifikan. Namun, di
sisi lain, jumlah pemegang polis relative tidak bertumbuh.
Tahun lalu, aset asuransi jiwa, umum, dan reasuransi mencapai Rp 229,20 triliun, naik 26% dibanding tahun sebelumnya Rp 181,80 triliun. Adapun pendapatan premi meningkat 20,2% menjadi Rp 104,27 triliun. Hasil investasi juga tumbuh 9,29% menjadi Rp 25,11 triliun, sedangkan laba bersih melonjak 22,29% menjadi Rp 8,89 triliun.
Angka-angka ini cukup mengesankan. Tapi, pada saat yang sama kita harus mengurut dada. Sebab, industri nasional masih tersandera oleh disparitas jumlah premi dengan jumlah nasabah baru. Peningkatan jumlah premi yang luar biasa besar, terutama pada asuransi jiwa, tidak sejalan dengan pertumbuhan jumlah nasabah baru. Artinya peningkatan premi masih berasal dari pemegang polis yang sama. Penetrasi asuransi jiwa baru 1,85%.
Dari tahun ke tahun, kesenjangan jumlah premi dengan jumlah nasabah semakin lebar. Pada 2005, misalnya, premi asuransi jiwa mencapai Rp 22,29 triliun, tapi pemegang polis individu hanya 5,12 juta. Tahun silam, ketika premi asuransi jiwa mencapai Rp 74,64 triliun, pemegang polis individu cuma 8,88 juta.
Perbandingan jumlah polis di Indonesia pun masih kalah jauh disbanding negara lain. Dengan populasi 237,56 juta jiwa, jumlah polis kita hanya 16,75 juta. Berarti, perbandingan polis per populasi cuma 0,07. Padahal, perbandingan polis per populasi Malaysia dan Singapura masing-masing sudah mencapai 0,44 dan 2,31.
Industri asuransi nasional juga masih terdistorsi oleh unit link. Saat ini, porsi proteksi pada unit link hanya sekitar 10%, sedangkan 90% lainnya dalam bentuk investasi. Alhasil, risiko pun lebih banyak ditanggung nasabah. Padahal, unit link saat ini mendominasi premi asuransi jiwa nasional.
Dari sisi kualitas, sebagian besar agen asuransi yang notabene menjadi ujung tombak industri ini, jelas belum memenuhi standar. Hingga akhir 2010, dari total 242.984 agen, baru 93.998 agen asuransi jiwa yang tersertifikasi (38,6%). Akibatnya, kita belum bisa sepenuhnya berharap agen-agen asuransi jiwa menjadi konsultan keuangan (financial planner) sebagaimana diinginkan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
Masalah yang menelikung asuransi umum tak kalah krusialnya. Asuransi umum sangat miskin ide dan minim kreativitas produk. Perusahaan- perusahaan asuransi umum sejauh ini hanya fokus menggarap segmen kendaraan bermotor dan properti, sehingga mereka terus-menerus terjebak dalam perang tarif.
Sungguh praktik bisnis yang tidak sehat. Padahal, tak lama lagi, asuransi umum bakal menjalani babak baru. Pada akhir 2014, seluruh asuransi umum harus memenuhi modal minimum Rp 100 miliar.
Dari sekian banyak “duri dalam daging” industri asuransi nasional, persoalan paling besar dan mendasar adalah liberalisasi. Setelah dibolehkan memiliki saham lebih dari 80% di sector asuransi, perusahaan asing yang kaya modal dan teknologi, punya jaringan luas dan SDM berkualitas, kini mendominasi industri asuransi nasional. Gara-gara liberalisasi itulah, rivalitas asing dengan lokal menjadi amat tidak seimbang. Bahkan, sekitar 80% premi asuransi jiwa telah dikuasai perusahaan asing dan patungan.
Tentu kita berharap berbagai persoalan yang dihadapi industri asuransi nasional dapat segera diselesaikan, satu per satu, tuntas, tanpa mencederai hakikat bisnis asuransi itu sendiri. Para pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan pelaku bisnis asuransi, harus memiliki visi yang sama bahwa industri asuransi adalah aset nasional yang harus dirawat, dijaga, dan didorong agar memberikan akselerasi yang optimal bagi perekonomian di dalam negeri, mengingat kontribusi sektor asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat minim, baru sekitar 1,9%.
Apalagi pada 2015, kita sudah bertarung dalam Asean Community. Kita seyogianya menaruh keyakinan yang kuat bahwa populasi negeri ini yang terus tumbuh, pendapatan per kapita yang terus naik, dan penetrasi pasar yang masih rendah menunjukkan besarnya potensi tumbuh perusahaan asuransi. Jika pasar ini digarap dengan baik, perusahaan asuransi Indonesia akan menjadi raksasa dunia.Tapi, kita juga mengharapkan agar perusahaan asuransi menggarap pasar masyarakat menengah bawah yang selama ini belum tersentuh.
sumber : http://www.investor.co.id/home/penetrasi-asuransi-masih-sangat-kecil/15436
Tahun lalu, aset asuransi jiwa, umum, dan reasuransi mencapai Rp 229,20 triliun, naik 26% dibanding tahun sebelumnya Rp 181,80 triliun. Adapun pendapatan premi meningkat 20,2% menjadi Rp 104,27 triliun. Hasil investasi juga tumbuh 9,29% menjadi Rp 25,11 triliun, sedangkan laba bersih melonjak 22,29% menjadi Rp 8,89 triliun.
Angka-angka ini cukup mengesankan. Tapi, pada saat yang sama kita harus mengurut dada. Sebab, industri nasional masih tersandera oleh disparitas jumlah premi dengan jumlah nasabah baru. Peningkatan jumlah premi yang luar biasa besar, terutama pada asuransi jiwa, tidak sejalan dengan pertumbuhan jumlah nasabah baru. Artinya peningkatan premi masih berasal dari pemegang polis yang sama. Penetrasi asuransi jiwa baru 1,85%.
Dari tahun ke tahun, kesenjangan jumlah premi dengan jumlah nasabah semakin lebar. Pada 2005, misalnya, premi asuransi jiwa mencapai Rp 22,29 triliun, tapi pemegang polis individu hanya 5,12 juta. Tahun silam, ketika premi asuransi jiwa mencapai Rp 74,64 triliun, pemegang polis individu cuma 8,88 juta.
Perbandingan jumlah polis di Indonesia pun masih kalah jauh disbanding negara lain. Dengan populasi 237,56 juta jiwa, jumlah polis kita hanya 16,75 juta. Berarti, perbandingan polis per populasi cuma 0,07. Padahal, perbandingan polis per populasi Malaysia dan Singapura masing-masing sudah mencapai 0,44 dan 2,31.
Industri asuransi nasional juga masih terdistorsi oleh unit link. Saat ini, porsi proteksi pada unit link hanya sekitar 10%, sedangkan 90% lainnya dalam bentuk investasi. Alhasil, risiko pun lebih banyak ditanggung nasabah. Padahal, unit link saat ini mendominasi premi asuransi jiwa nasional.
Dari sisi kualitas, sebagian besar agen asuransi yang notabene menjadi ujung tombak industri ini, jelas belum memenuhi standar. Hingga akhir 2010, dari total 242.984 agen, baru 93.998 agen asuransi jiwa yang tersertifikasi (38,6%). Akibatnya, kita belum bisa sepenuhnya berharap agen-agen asuransi jiwa menjadi konsultan keuangan (financial planner) sebagaimana diinginkan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
Masalah yang menelikung asuransi umum tak kalah krusialnya. Asuransi umum sangat miskin ide dan minim kreativitas produk. Perusahaan- perusahaan asuransi umum sejauh ini hanya fokus menggarap segmen kendaraan bermotor dan properti, sehingga mereka terus-menerus terjebak dalam perang tarif.
Sungguh praktik bisnis yang tidak sehat. Padahal, tak lama lagi, asuransi umum bakal menjalani babak baru. Pada akhir 2014, seluruh asuransi umum harus memenuhi modal minimum Rp 100 miliar.
Dari sekian banyak “duri dalam daging” industri asuransi nasional, persoalan paling besar dan mendasar adalah liberalisasi. Setelah dibolehkan memiliki saham lebih dari 80% di sector asuransi, perusahaan asing yang kaya modal dan teknologi, punya jaringan luas dan SDM berkualitas, kini mendominasi industri asuransi nasional. Gara-gara liberalisasi itulah, rivalitas asing dengan lokal menjadi amat tidak seimbang. Bahkan, sekitar 80% premi asuransi jiwa telah dikuasai perusahaan asing dan patungan.
Tentu kita berharap berbagai persoalan yang dihadapi industri asuransi nasional dapat segera diselesaikan, satu per satu, tuntas, tanpa mencederai hakikat bisnis asuransi itu sendiri. Para pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan pelaku bisnis asuransi, harus memiliki visi yang sama bahwa industri asuransi adalah aset nasional yang harus dirawat, dijaga, dan didorong agar memberikan akselerasi yang optimal bagi perekonomian di dalam negeri, mengingat kontribusi sektor asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat minim, baru sekitar 1,9%.
Apalagi pada 2015, kita sudah bertarung dalam Asean Community. Kita seyogianya menaruh keyakinan yang kuat bahwa populasi negeri ini yang terus tumbuh, pendapatan per kapita yang terus naik, dan penetrasi pasar yang masih rendah menunjukkan besarnya potensi tumbuh perusahaan asuransi. Jika pasar ini digarap dengan baik, perusahaan asuransi Indonesia akan menjadi raksasa dunia.Tapi, kita juga mengharapkan agar perusahaan asuransi menggarap pasar masyarakat menengah bawah yang selama ini belum tersentuh.
sumber : http://www.investor.co.id/home/penetrasi-asuransi-masih-sangat-kecil/15436
Langganan:
Postingan (Atom)